Minggu, 07 Juni 2015

PEMBENTUKAN MORALITAS DAN SPIRITUALITAS MELALUI MAQAMAT WA AHWAL DALAM TASAWUF

PEMBENTUKAN MORALITAS DAN SPIRITUALITAS
MELALUI MAQAMAT WA AHWAL DALAM TASAWUF
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester
Mata kuliah : Akhlaq/Tasawuf
Dosen Pengampu : Drs. Komarudin, M.Ag


http://walisongo.ac.id/images/Logo%203D%20UIN%20Walisongo.png

Di Susun Oleh:
Ridho Ardantia Fauzi            (131111006)


PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015
I.          PENDAHULUAN
            Dalam tradisi tasawuf, banyak teori yang menyebut karakter-karakter keluhuran yang seharusnya dimiliki oleh manusia. Karakter-karakter tersebut tergambar dalam konsep-konsep tasawuf tentang maqamat (tahapan-tahapan atau stations), ahwal (state), ittihad (unity), wahdat al-wujud (kesatuan wujud), wahdat al-syuhud (kesatuan penyaksian), wahdat al-din (kesatuan agama) dan lain-lain.
Dalam konteks perilaku (takhalluq), mengimplikasikan kesempurnaan, perasaan menyatu dengan Tuhan, kesetaraan, keadilan, keindahan, keutuhan, keserasian, kesederhanaan dan sifat-sifat kebaikan lainnya. Namun literature-literatur tidak semuanya seragam dalam merumuskan susunan dari karakter-karakter maqamat dan ahwal.[1]
Hakikat tasawuf adalah kesadaran adanya komunikasi antara manusia dengan Tuhan. Dalam proses yang intens itu seseorang hambamenemukan pengalaman ruhani yang luar biasa nikmat dan indah yang tak ditemui kebanyakan orang dalm kehidupanya. Pengalaman ruhani adalah inti dari kata kunci dari tasawuf . perilaku keagamaan tanpa pengalaman ruhani tidak bisa disebut sebagai tasawuf. Seorang yang beragama secara baik dan tertib (formal), bertutur kata santun, dan berperilaku mulia, namun tidak dibarengi dengan kehangatan dan pengalaman spiritual yang ia rasakan, sejatinya ia belum menempuh jalan tasawuf dan ia belum layak disebut sebagai sufi.tasawuf tidak identik dengan ritual-ritual formal dan akhlak mulia. Ia hanya identik dengan pengalaman ruhani yang diperoleh seseorang salik (penempuh jalan tasawuf). Namun harus diakui jika kemudian ia memiliki efek positif bagi terwujudnya perilaku mulia dan kesalehan sosial. Dengan itu maka saya akan menulis makalah tentang membentuk moralitas dan spiritualitas melalui maqamat wa ahwal.[2]
II.      RUMUSAN MASALAH
A.  Apa yang dimaksud dengan Moralitas, Spiritualitas dan Maqamat wa Ahwal?
B.  Bagaimana membentuk Moralitas dan Spiritualitas melalui Maqamat wa Ahwal?

III.   PEMBAHASAN
A.  Pengertian Moralitas, Spiritualitas, dan Maqamat wa Ahwal
Menurut KBBI Moralitas adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat sopan santun. Sedangkan Spiritualitas adalah sesuatu yang berhubungan dengan  rohani atau kejiwaan seseorang. Dalam khazanah istilah sufi, Maqamat diartikan sebagai kedudukan-kedudukan spiritual. Kedudukan-kedudukan ini adalah dasar dan asas yang mesti ada guna mengaktualisasikan kesempurnaan manusia dan harus ditempuh dalam Perjalanan Kembali kepada Allah. Maqamat adalah segenap perolehan (maqasib) melalui usaha spiritual (mujahadah). Orang-orang sempurna telah melampaui kedudukan-kedudukan itu hingga mencapai kedudukan paling tinggi, yakni “bukan kedudukan” (la maqam). 
Ahwal adalah bentuk jamah dari hal, seperti halnya maqam, hal (state) digunakan kaum sufi untuk menunjukan kondisi spiritual. Kata hal dalam perspektif tasawuf sering diartikan dengan “keadaan” . maksudnya keadaan atau kondisi spiritual. Hal sebagai sebuah kondisi yang singgah dalam kalbu, merupakan efek dari peningkata maqamat seseorang secara teoritis, memang bisa dipahami bahwa kapan pun seorang hamba mendekat kepada Allah dengan cara berbuat kebajikan, ibadah, riyadhah, dan mujahadah maka Allah akan memanifestasikan diri-Nya dalam kalbu hamba tersebut. Ahwal diartikan sebagai keadaan-keadaan spiritual. Ini adalah anugerah dan karunia Allah kepada hati para penempuh jalan spiritual, yang masing-masing mengandung banyak sekali kiasan halus, dan setiap kiasan mengandung makna-makna yang sangat banyak. Orang yang mendengarkan konser spiritual bisa mengalami berbagai keadaan spiritual.[3]
Maqamat adalah bentuk jamak dari Maqam, maqam secara literal berate berdiri, stasiun, temapat, lokasi, posisi, atau tingkatan. Secara terminologis berarti kedudukan spiritual.[4] Maqamat kata jamak dari maqam, diartikan sebagai jalan sepiritual yang harus dilalui para sufi dalam mencapai tujuan luhurnya, melalui proses pensucian jiwa terhadap kecenderungan materi agar kembali kejalan Tuhan. Definisi ini menurut terminology sufistik diartikan sebagai tempat atau martabat seseorang hamba di hadapan Allah pada saat ini berdiri menghadap kepadanya. Ia merupakan proses training, melatih diri dalam hidup kerohanian (riyadhah), latihan menerangi hawa nafsu (mujahadah), dan melepaskan kegiatan dunia untuk semata-mata berbakti kepada Allah. Hal ini senada dengan pendapat al-Qusyairi, bahwa maqam merupakan pengalaman puncak (peak-experience) yang terjadi pada hamba Allah berkat ketinggian martabatnya sebagai hasil dari riyadhah yang dilakukan.
Dalam konteks maqamat, Abu Hamid Al-ghazali (w.505 H/111M) melihat bahwa tingkatan agama (maqamat Al-din) dibangun atas tiga pilar: pengetahuan-pengetahuan (ma’arif), keadaan-keadaan (ahwal), dan perbuatan-perbuatan (a’mal). Menurut al-Ghazali, Ma’arif adalah fondasi yang akan melahirkan ahwal, dan ahwal akan memunculakan amal. Ma’arif laksana sebuah poho, ahwal menjadi ranting-rantingnya, dan amal menjadi buah-buahnya. Semua ini dalam pandangan al-Ghazali, mutlak berada pada para salik yang berjalan menuju Allah SWT. Dari pandangan ini bisa dipahami mengapa doktrin tentang maqamat dan ahwal pada hamper semua risalah kaum sufi tidak bisa dipisahkan dengan keutamaan-keutamaan perbuatan baik (fadla’il a’mal).[5]
Ahwal kata jamak dari hal, yakin keadaan atau karakter spiritual yang diberikan oleh Tuhan ketika seseorang melakukan perjalanan rohani (spiritual) melalui maqam tertentu. Ketika Tuhan memanisfestasikan dirinya ke dalam jiwa dan hati bersih manusia dengan agung dan indah, seseorang akan mencintai manisfestasinya tersebut dan meraskan kegembiraan yang spesifik, seperti hati merasa dekat (qurb), perasaancinta yang suci (mahabah), rasa optimis dan yakin (raja’), hati mersa tentram (tuma’ninah), suka cita (uns),menerima apa adanya (qanaah) dan lain-lain. Kondisi kejiwaan ini disebut ahwal.
B.  Membentuk Moralitas dan Spiritualitas melalui Maqamat wa Ahwal
Momen pendirian sufi, yang memegang janji dan menyatakan suluk (jalan sufistik) untuk berkembang menuju kepribadian sufi, ibarat sebuah pertanyaan terbaik yang menyediakan separuh dari jawabanya. Apa yang terjadi pada permulaan aksi dari jalan yang hanya seperti gerbang menuju sebuah kebun kedamaian dan penuh rahmat. Setelah mengemukakan resolusi kita, sangat mudah untuk memasuki kebun itu, tetapi membaca tanda-tanda yang membuat jalur yang baik sungguh tidaklah mudah. Barang kali disana terdapat sebuah masa yang ambivalen dari sebuah atau setiah bagian. Yang satu mungkin mersakan contoh kegelisahan dari perpisahan, sebagai mana kegelishan ketika datangnya penyatuan. Seseorang barangkali tidak yakin dengan kemampuan dirimya sendiri, atau gagal untuk menyelesaikan kesuliatan-kesuliatan yang dihadapi.
Susunan karakter maqamat menurut al-Kalabadzi adalah taubat, zuhud, shabr, faqir, taqwa, tawakal, ridha, mahabah, dan ma’rifah. Al-Qusyairi merumuskan maqamat dengan : taubah, wara’, zuhud, tawakal, shabr dan ridha.
Abu Nasr al-Sarroj menyebutkan tujuh karakter maqamat, yaitu taubat, wara’, zuhud, faqir, shabr, tawakal dan ridha. Sedangkan karakter yang termasuk ahwal adalah muqarrobah, qurb, mahabah, khauf, raja’, syauq, uns, tuma’ninah, musyahadah dan yaqin.
Menurut imam Ghozali seluruh pencapaian pengalaman keagamaan (maqamat al-Din) terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu ma’rifah, ahwal, dan a’mal (pngetahuan, keadaan dan amal).Konsepsi maqamat dan ahwal dalam tradisi tasawuf ini sangat mirip dengan konsepsi psikologi humanistic dari Abraham Harold maslow, yaitu konsepsi aktualisasi diri (self-actualization) dan konsepsi pengalaman puncak (peak-experience).
Konsepsi pengalaman puncak (peak-experience) dari konsep psikologi humanistic maslow menggambarkan kondisi psikologi itu sebagai puncak kesadaran seseorang dalam kondisi merasakan menyatu dengan alam. Atau kesadaran akan kesatuan antara alam mikrokosmos, makrokosmos, dan metakosmos. Menurut maslow pengalaman itu adalah pengalaman yang bersifat universal, dan merupakan pengalaman spiritual atau keagamaan, yaitu ketika seseorang merasa tidak ada batas lagi antara dirinya dengan alam sekitarnya.
Pembersihan dan penyucian jiwa sama artinya dengan meninggalkan nafs al-amarah (jiwa yang mengajak pada keburukan) dan menuju al-nafs al-muthma’innah ( jiwa yang tenang) dengan cara kesungguhan dalam melakukan kebijakan-kebijakan yang utama (al-amal al-fadlilah) dan mujahadah. Dengan cara mujahadah, jiwa akan menjadi bersih dari segala penyakit serta berbagai kotoranya, dan dengan kesungguhan dalam melakukan al-amal al-fadlilah jiwa akan dikembalikan ke asalnya yang bersih. Maka, sebagai hasil dari usaha ini jiwa akan kembali kerumah atau asal-muasalnya. Pembicaraan mengenai maqamat tak bisa lepas dari thariqah. Thariqah, ang berarti jalan (the way). Menurut keyakinan sufi. Seseorang tidak akan mencapai pada hakikat tujuan ibadah sebelum menempuh atau melaksanakan jalan kearah itu. Thariqah adalah jalan,cara, metode, dan system menuju Tuhan. Orang yang melakukan ini disebut ahl al-thariqah atau salik.[6]

a.    Struktur Maqamat
Tujuan akhir dari perjalan spiritual adalah kemurnian tauhid (shafa al-tauhid), yaitu kesaksian seorang muslim dengan mengucap kalimat syahadah, la illaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah). Pengakuan ini mengandung dua komitmen. Pertama, tiada Tuhan, dan kedua, Selain Allah. Dua komitmen inilah yang menjadi dasar struktur maqamat. Komitmen pertama merefleksikan pengosongan diri dari segala sesuatu yang buruk (takhalli), seperti maqam taubat, wara’, zuhd dan faqr. Kemudian komitmen kedua berupa pengakuan,  atau tahalli, seperti maqam shabr, tawakkal dan ridha.
1.    Taubat
Maqam taubat merupakan proses dan langkah awal perjalanan spiritual sufi yang harus dilalui dengan berhasil. Dalam proses ini, seorang sufi harus mengosongkan dan membersihkan semua perilaku, tindakan, perbuatan dan lain-lain yang cenderung mendorong seseorang kepada sifat, sikap rendah dan kemaksiatan. Hal itu berlaku dalam berhubungan dengan manusia, maupun dengan tanggungjawab kedinasan.
Dengan taubat, jiwa seseorang akan kembali pada fitrahnya lagi. Seseorang menjadi tidak mudah luntur dalam gaya godaan rendah, tidak terhanyut dalam pesona duniawi dan bebas dari segala sesuatu yang dapat menghalangi perjalanannya menemukan diri fitrinya. Pada umumnya dalam mencapai taubat tergantung pada keikhlasan dari sesorang tersebut dan kemampuanya untuk mengontrol kondisi psikologisnya. Sehingga dia tidak menurun untuk menjadi korban lagi dari kepalsuan nilai yang paling awal dan nafsu yang berkaitan dengan gaya hidupnya. Jadi, seseorang harus mengejar tahapan-tahapan yang akan mendorong keadaan mentalnya dan menguatkan taubatnya.[7]
Ada tiga tahapan dalam usaha orang untuk melakukan taubat.
Pertama, taubat dikalangan awam. Merupakan taubat pada tingkatan dasar. Dia menyesali dengan sungguh-sungguh atas perbuatan salah yang pernah dilakukan (al-nadam), kemudian berjuang sekuat tenaga untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan tersebut, dan menjauhkan diri dari segala tindakan maksiat dan melenyapkan semua dorongan nafsu amarah yang dapat mengarahkan seseorang pada kemaksiatan (al-azm). Bila ia bersalah dengan orang, ia harus meminta maaf dan bila membawah harta yang bukan haknya ia harus mengembalikannya (al-sa’yu).
Kedua, taubat bagi orang yang telah melakukan ajaran tasawuf, yaitu meningkatkan kadang ketaatannya pada Tuhan dengan lebih baik lagi. Bila ketaatan itu kurang, ia akan meningkatkannya dengan lebih baik, bila sudah baik ketaatannya pada Tuhan, ia akan meningkatkan lagi dengan ketaatan yang baik.
Ketiga, taubatnya orang arif. Bila ia merasa hubungan kedekatan batinnya dengan Tuhan kurang penuh, maka ia akan memperbaiki hubungan itu dengan lebih sempurna lagi, dengan motivasi agar terus-menerus memperoleh bimbingan dan pengawasan dari Tuhan. Seseorang yang sudah dalam tingkatan yang arif ini, adalah orang yang mencapai derajat wara’.[8]
Terdapat tiga syarat taubat yang mesti dipenuhi agar taubat itu efektif, yaitu menyesali pelanggaran yang telah dilakukan, meninggalkan secara langsung penyelewengan, dan dengan mantap memutuskan tidak kembali kepada kemaksiatan yang sama.
Cara bertaubat ialah memisahkan diri dari orang-orang yang berbuat jahat, karena mereka akan mendorongnya mengingkari tujuan dan menyebabkan keraguan kelurusan niatnya yang teguh. Keteguhan dalam bersyahadah, yang akan meningkatkan kerinduannya kepada taubat dan bersamaan dengan dorongan untuk ketetapan hatinya memperkuat rasa takut dan berharapnya. Meninggalkan dosanya dan bertetapan hati untuk tidak kembali ke dosa-dosa serupa di masa mendatang.[9]
2.    Wara’
Wara’ pada dasarnya berarti mengendalikan diri. Dalam pengertian tasawuf wara’ mempunyai beberapa pegertian. Pertama, mengendalikan diri dalam semua perjalanan hidupnya dengan tidka melakukan hal-hal yang tidak jelas hukumnya (syubhat), meskipun perbuatan itu bukan perbuatan maksiat. Kedua, meninggalkan dan menjauhi segala sesuatu yang tidak bermanfaat, baik menyangkut diri sendiri maupun orang lain.
Wara’ juga terbagi atas wara’ lahiriyah dan batiniyah. Lahiriyah berarti meninggalkan semua yang dilarang Tuhan, dan batiniyah hanya Tuhan yang bersemayam di hatinya.[10]
Wara’ menurut para ahli adalah sebagai beriku ;
Syaikh (Abu ‘Ali ad-Daqqaq) menyatakan “wara’ adalah meninggalkan apapun yang meragukan.”
Ibrahim ibn Ad-ham menjelaskan “wara’ adalah meninggalkan apapun yang meragukan, dan meninggalkan apapun yang tidak bersangkut paut dengan anda berarti meninggalkan apapun yang berlebihan.”
Al-Syibli mengatakan “wara’ adalah sikap menjauhi segala sesuatu selain Allah SWT.”
Abu Sulayman al-darani menyatakan “wara’ adalah titik tolak zuhud, sebagaimana sikap puas terhadap apa yang ada adalah bagian utama dari ridha.”[11]
3.    Zuhud
Secara umum pengertian zuhud merupakan sikap para sufi bagaimana dia menyikapi kehidupan dunia ini. Mereka beranggapan bahwa dunia merupakan sumber dari kemaksiatan yang akan menjauhkan mereka dari Tuhan. Potensi ketertarikan manusia terhadap kemewahan dan kenikmatan dunia sangat besar, sehingga akan menjadi penghalang bagi seseorang untuk mendekati Tuhan.
Para sufi harus memalingkan terlebih dahulu semua aktivitas jasmani dan rohaninya dari hal-hal yang bersifat duniawi, sehingga segala daya upaya yag dicurahkan oleh para sufi, hanya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Beberapa para ahli berpendapat mengenai zuhud adalah sebagai berikut :
Shufyan al-Tsawri menyatakan, “zuhud terhadap dunia adalah mengurangi keinginan untuk memperoleh dunia, bukan memakan-makanan kasar atau mengenakan jubah dari kain kasar.”
Syaikh Abu ‘Ali al-Daqqaq mengatakan, “zuhud adalah hendaknya anda meninggalkan dunia sebagaimana ia adanya, bukan berkata,’saya akan membangun ribath (markas sufi) atau mendirikan masjid.”
Ibn al-Jalla’ berkomentar, “zuhud adalah sikap anda memandang dunia ini hina, karena dunia ini fana setelah itu, maka berpaling darinya akan menjadi mudah bagi Anda.”
Ibn Khafif menyatakan, “pertanda zuhud adalah adanya sikap tenang ketika berpisah dari harta milik.” Dia jga menyatakan, “zuhud adalah membebaskan hati dari sebab-sebab sekunder dan membebaskan tangan dari harta benda.”
Ahmad ibn Hanbal memberikan penjelasan, “ada tiga macam zuhud : bersumpah menjauhi hal yang haram adalah zuhud kaum awam, bersumpah menjauhi keberlebihan dalam hal-hal yang halal adalah zuhud kaum terpilih, dan bersumpah menjauhi apapun yang mengalihkan sang hamba dari Allah SWT adalah zuhud kaum gnostik.”[12]
4.    Faqr
Ada macam interpretasi tentang maqam faqr ini, mulai dari penafsiran yang biasa saja sampai kepada interpretasi yang sangat ekstrim. Prinsipnya adalah tetang kondisi hidup miskin dari para sufi. Ada interpretasi bahwa yang disebut kefaqiran adalah kondisi seseorang yang tidak membutuhkan apapun selain Tuhan, dan itu ditandai dengan tidak adanya harta benda.
Ada lagi yang menafsirkan bahwa faqr adalah jika tidak ada lagi sesuatupun yang tersisa dari apa yang pernah dimiliki. Kemudian masih ada pengertian faqr adalah kemiskinan spiritual, dan masih ada interpretasi-interpretasi lainnya. Namun pada intinya pada sufi menganggap bahwa faqr adalah sebuah sikap hidup yang tidak berlebihan atau memaksakan diri untuk mengejar harta benda, kemudian menerima seberapapun yang diberikan oleh Allah.[13]
Beberapa ahli berpendapat tentang kefaqiran adalah sebagai berikut :
Yahya bin Mu’adz mengatakan, “hakikat kefakiran adalah bahwa si hamba tidak bergantung kepada siapa pun selain Allah dan tnda kefakiran adalah tidak adanya harta benda.”
Ibrahim al-Qashshar mengatakan, “kefakiran adalah pakaian yang sekali telah dipakai akan mendatangkan keridhaan.”
Sahl bin ‘Abdullah menyatakan, “ada lima contoh kemuliaan jiwa seorang fakir : seorang yang miskin yang berpura-pura bebas dari kebutuhan, seorang yang lapar yang berpura-pura kenyang, seorang yang bersedih yang berpura-pura bahagia, seorang yang punya musuh tapi memperlihatkan kecintaan terhadapnya, seseorang yang berpuasa di siang hari dan bangun di malam hari untuk shalat tanpa memperlihatkan kelemahan.”[14]
5.    Shabr
Fungsi shabr penting dalam perjalanan spiritual seseorang. Bagi para sufi, shabr dianggap sangat penting urgensinya, sehingga mereka menempatkan shabr menjadi bagian penting dari struktrur maqam. Shbar juga merupakan sikap ketundukan secara total kepada Allah dan merupakan kondisi kejiwaan karena dorongan keimanan.[15]
Beberapa para ahli berpendapat mengenai sabar, yaitu :
Ibn ‘Atha’ menyatakan, “sabar adalah tetap tabah dalam malapetaka dengan perilaku yang manis atau berlalunya jiwa dalam cobaan tanpa keluhan.”
Abu ‘Utsman berkomentar, “orang yang paling sabar adalah dia yang terbiasa dalam kesengsaraan yang menimpa dan menjalani cobaan dengan sikap yang sama seperti menghadapi kenikmatan.”
Abu “Abdallah bin Khafif menyatakan, “sabar ada tiga macam : sabarnya orang yang berjuang untuk bersabar, sabarnya orang yang sabar, dan sabarnya orang yang sangat sabar.”[16]
6.    Tawakkal
Tawakkal dapat dikatakan sebagai hasil dari sikap sabar. Sehingga bila sabar sudah mampu ditegakkan, otomatis dia juga seorang yang tawakal. Orang yang tawakkal dapat ditandai dengan selalu menyatunya perasaan tenang dan tentram, serta penuh kerelaan atas segala yang diterimanya.[17]
Beberapa para ahli berpendapat tetang tawakkal, yaitu :
Ibn Atha menjelaskan, “tawakkal adalah bahwa hendaknya hasrat yang menggebu-gebu terhadap hal-hal duniawi tidak muncul dalam dirimu meskipun engkau sangat membutuhkannya, dan senantiasa bersikap qana’ah dengan Allah meskipun engkau tergantung pada kebutuhan-kebutuhan duniawi itu.”
Dzun Nun al-Misri, “tawakkal kepada Allah berarti meninggalkan strategi diri sendiri dan melucuti kekuatan dan kemampuannya, sebab si hamba hanya mampu bertawakkal kepada Allah jika dia mengetahui bahwa Allah SWT Maha Tahu dan Maha Melihat akan keadaannya.”
Abu Abdullah al-Qarsyi, “tawakkal berarti bersama dengan Allah SWT dalam setiap keadaan.”[18]
7.    Ridha
Dzunnun al-Mishri berpendapat bahwa ridha adalah menerima tawakkal dengan keikhlasan hati. Tanda-tanda orang ridha adalah dia menerima hasil dari segala sesuatu yang dia upayakan dengan ikhlas dan sabar sebelum datang ketentuan, dan tidak merasa cemas serta resah setelah datangnya ketentuan. Jadi, ridha adalah keadaan mental dan kejiwaan yang senantiasa berlapang dada dalam menerima segala karunia yang diterima, maupun bala’ yang menimpa. Sikap mental ini adalah merupakan maqam tertinggi yang dicapai oleh orang yang melakukan latihan spiritual.[19]
Menurut Dzun Nun al-Mishri, “ada tiga tanda kerelaan : tidak punya pilihan sebelum diputuskannya ketetapan Allah, tidak merasakan kepahitan setelah diputuskannya ketetapan tersebut, dan merasakan gairah cinta di tengah-tengah cobaan.”[20]

8.    Mahabbah
Mahabbah berasal dari kata ahabba-yuhibbu-mahabbatan yang berarti mencintai secara mendalam. Mahabbah pada tingkatan selanjutnya dapat diartikan suatu usaha sungguh-sungguh  dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan terwujudnya kecintaan yang mendalam kepada Allah. Berkaitan dengan konsep mahabbah, Rabi’ah al-Adawiyah adalah peletak dasar mahabbahini. Mahabbah dalam pandangan Rabi’ah adalah cinta abadi kepada Allah yang melebihi cinta kepada siapa pun dan apapun. Cinta abadi yang tidak takut kepada apa saja, bahkan neraka sekalipun. Sebagaimana dalam syair Rabi’ah yang berbunyi:
Kujadikan Engkau teman percakapan hatiku, Tubuh kasarku biar bercakap dengan insani, Jasadku biar bercengkrama tulangku, Isi hatiku tetap pada-Mu jua.”
Menurut Rabi’ah al-Adawiyah, Allah adalah salah satu yang seharusnya dicintai dan Dialah tujuan akhir dalam pencarian cinta yang abadi. Untuk menggapai kecintaan Ilahi, maka seorang sufi harus melatih dirinya untuk mencintai segala keindahan alam seisinya. Karena keindahan adalah ciri dari zat yang dicintai. Bagi Rabi’ah, rasa cinta kepada Allah menjadi salah satu motivasi dalam setiap perilakunya dan sekaligus merupakan tujuan pengabdiannya kepada Allah. Rabi’ah al-Adawiyah mengatakan; “Aku mencintai-Mu dengan dua dorongan cinta, cinta-rindu, karena aku menginginkan-Nya dan cinta karena Engkau patut mendapatkannya. Cinta-rindu menenggelamkan diriku untuk selalu mengingat dan menyebut-Mu. Cinta rindu membuatku lupa dengan orang yang selain yang kucinta, sedangkan cinta karena Engkau pantas dicintai adalah keterbukaan-Mu dari tirai penghalang sehingga aku dapat melihat-Mu dengan terang benderang. Aku tak pantas mendapatkan pujian untuk cinta pertama dan cinta kedua, tetapi segala puji untuk-Mu belaka pada cinta pertama dan cinta kedua.
Dalam pandangan Ath-Thusi, mahabbah dibagi menjadi tingkatan. Pertama, mahabbah al-‘ammah, yaitu cinta yang timbul dari belas kasihan dan kebaikan Allah kepada hamba-Nya. Kedua, hubb ash-shadiqin wa al-muttaqin,yaitu cinta yang timbul dari pandangan hati sanubari terhadap kebesaran, keagungan, kemahakuasaan, ilmu dan kekayaan Allah. Ketiga, mahabbah ash-shidiqin wa al-‘arifin, yaitu mahabbah yang timbul dari penglihatan dan ma’rifatpara sufi terhadap kekalnya kecintaan Allah yang tanpa ‘illat. Adapun tanda-tanda cinta seorang hamba terhadap Allah di antaranya adalah:
a.       Senang bertemu dengan kekasihnya (Allah) dengan cara saling membuka rahasia dan saling melihat satu sama lain.
b.      Melakukan segala hal yang disenangi kekasihnya. Atas nama cinta kepada Allah, rela menjalankan kewajiban yang diperintahkan.
c.       Senantiasa berzikir menyebut nama-Nya.
d.      Merasa tenang dan damai tatkala bermunajat dengan Allah dan membaca       kitab-Nya.
e.       Tidak merasa gundah jika kelihangan sesuatu selain Allah dan merasa gundah jika waktunya terlewatkan tanpa mengingat Allah.
f.       Merasa nikmat saat menjalankan perintah Allah dan tidak menganggap perintah itu sebagai beban.
g.      Menyanyangi semua hamba Allah, berperilaku tegas kepada semua musuh Allah.
9.    Ma’rifah
 Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifat yang berarti pengetahuan atau pengalaman. Ma’rifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat pada umumnya, dan merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat zhahir, tetapi bersifat batin, yaitu pengetahuan mengenai rahasia-rahasia Tuhan melalui pancaran cahaya Ilahi. Adapun alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir, qalb, dan ruh. Qalb yang telah suci akan dipancari cahaya Ilahi dan akan dapat mengetahui segala rahasia Tuhan. Pada saat itulah, seorang sufi sampai pada tingkatan ma’rifat. Dengan demikian, ma’rifat berhubungan dengan nur Ilahi dan berkaitan dengan nur Ilahi. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa kata nur yang dihubungkan dengan Allah. Di antaranya adalah:
Ma’rifat dalam pandangan al-Ghazali adalah mengetahui rahasia Allah tentang segala yang ada. Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din membedakan jalan pengetahuan sampai kepada Tuhan antara orang awam, ulama dan sufi. Bagi orang awam, keyakinan akan pengetahuan tentang Allah dibangun atas dasar taqlid, yaitu hanya mengikuti perkataan orang lain tanpa menyelidikinya.
Bagi ulama, keyakinan akan Allah dibangun atas dasar pembuktian. Bagi sufi, keyakinan akan Allah dibangun atas dasar dzauq rohani dan kasyaf Ilahi. Ma’rifat dalam pandangan Dzun Nun al-Misri adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Menurutnya, ma’rifat hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Allah dengan hati sanubari mereka. Ma’rifat dipancarkan ke hati para sufi dengan pancaran cahaya suci Ilahi.
Ma’rifat menurut Syeikh Ibnu Athaillah As-Sakandari, siapapun yang merenung secara mendalam akan menyadari bahwa semua makhluk sebenarnya menauhidkan Allah SWT lewat tarikan nafas yang halus. Jika tidak, pasti mereka akan mendapat siksa. Pada setiap zarah, mulai dari ukuran sub-atomis (kuantum) sampai atomis, yang terdapat di alam semesta terdapat rahasia nama-nama Allah. Dengan rahasia tersebut, semuanya memahami dan mengakui keesaan Allah. Allah SWT telah berfirman, yang Artinya:
Artinya: Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari (QS Ar-Ra’d:15).
Jadi, semua makhluk mentauhidkan Allah dalam semua kedudukan sesuai dengan rububiyah Tuhan serta sesuai dengan bentuk-bentuk ubudiyah yang telah ditentukan dalam mengaktualisasikan tauhid mereka. Lebih lanjut Syeikh mengatakan bahwa sebagian ahli makrifat berpendapat bahwa orang yang bertasbih sebenarnya bertasbih dengan rahasia kedalaman hakikat kesucian pikirannya dalam wilayah keajaiban alam malakut dan kelembutan alam jabarut.
Sementara sang salik, bertasbih dengan dzikirnya dalam lautan qolbu. Sang murid bertasbih dengan qolbunya dalam lautan pikiran. Sang Pecinta bertasbih dengan ruhnya dalam lautan kerinduan. Sang Arif bertasbih dengan sirr-nya dalam lautan alam gaib. Dan orang shiddiq bertasbih dengan kedalaman sirr-nya dalam rahasia cahaya yang suci yang beredar di antara berbagai makna Asmaasma dan Sifat-sifat-Nya disertai dengan keteguhan di dalam silih bergantinya waktu. Dan dia yang hamba Allah bertasbih dalam lautan pemurnian dengan kerahasian sirr-al-Asrar dengan memandang-Nya,
b.   Struktur Ahwal
dalam struktur ahwal ini ada karakter-karater : muraqabah, mahabbah, khauf, raja’, syauq, uns, tuma’ninah, musyahadah dan yaqin.
1.    Muraqabah
Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya. Kehati-hatian (mawas diri) adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, “Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari”.
Muraqabah dalam tradisi sufi adalah kondisi batin dimana orang memposisikan dirinya pada keadaan waspada dan konsentrasi penuh, sehingga segala pikiran dan perasaannya selalu terfokus pada kesadaran diri yang mantab. Muraqabah adalah hal atau kondisi yang sangat penting, sebab segala kegiatan spiritual dan segala perilaku dan perbuatan pada hakikatnya ditujukan untuk pendekatan diri kepada Allah. Hal yang penting dalam muraqabah ialah sikap konsisten terhadap perilaku yang baik, atau perilaku yang seharusnya dilakukan.
2.    Mahabbah
Mahabbah atau cinta adalah suatu perasaan agung dimana orang yang mencintai memberikan seluruh keluhuran jiwanya kepada yang dicintai. Mahabbah mengandung makna keteguhan dan kemantapan sikap untuk konsisten kepada apa yang dicintainya, dan selalu memikirkan yang dicintai. Dalam tradisi sufi, mahabbah dianggap tinggi nilainya dalam pencapaian sufi, sehingga menempatkan mahabbah sebagai bagian dari maqamat.
3.    Khauf
Al-Qusyairi mengemukakan bahwa khauf berhubungan dengan sesuatu yang belum terjadi. Khauf atau ketakutan adalah sesuatu yang sangat tidak diharapkan akan terjadi, dan sesuatu yang diharapkan akan sirna. Takut akan terjadinya kemurkaan Allah, dan takut akan kehilangan cinta Allah adalah manifestasi dari khauf.
4.    Raja’
Raja’ dapat dikatakan kebalikan dari khauf. Kalau khauf, takut sesuatu akan terjadi, maka raja’ justru berharap sesuatu agar terjadi. Ada perbedaan antara berharap (raja’) dengan berangan-angan (tamanni). Berharap berarti menginginkan sesuatu agar dapat terjadi sesuai keinginan, sementara berangan-angan berarti menginginkan sesuatu terjadi tanpa suatu usaha (hanya menunggu).
5.    Syauq
Syauq adalah rindu. Rindu adalah kondisi suatu perasaan di mana seseorang atau individu selalu ingin bertemu dengan yang dirindukan atau yang dicintai. Seorang hamba yang dilanda kerinduan kepada Allah SWT, selalu ingin terus berdekatan dengan-Nya. Kerinduan juga berarti penumpahan segala energi yang terbaik kepada titik tertentu yang dianggapnya sebagai kebenaran yang hakiki, sehingga tidak tergoyahkan oleh segala godaan dan kecenderungan yang akan menjauhkannya dari kebenaran.
6.    Uns
Uns (suka cita) dalam pandangan sufi adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Dalam keadaan seperti ini, seorang sufi merasakan tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwa terpusat bulat kepada-Nya, sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti itulah yang disebut al-Uns. Ada sebuah ungkapan yang menggambarkan al-Uns sebagai berikut: “Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya, sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Ada pula orang yang bising dalam kesepian. Ia adalah orang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau selalu berteman di manapun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah. Artinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah.
Seorang hamba yang merasakan Uns dibedakan menjadi tiga kondisi. Pertama, seorang hamba yang merasakan suka cita berzikir mengingat Allah dan merasa gelisah di saat lalai. Merasa senang di saat berbuat ketaatan dan gelisah berbuat dosa. Kedua, seorang hamba yang merasa senang dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan-bisikan hati, pikiran dan segala sesuatu selain Allah yang akan menghalanginya untuk dekat dengan Allah. Ketiga, yaitu kondisi yang tidak lagi melihat suka citanya karena adanya wibawa, kedekatan, kemuliaan dan mengagungkan disertai dengan suka cita.
Ketika seseorang didekati oleh apa yang paling didambakannya, akan merasakan suatu perasaan gembira dan senang yang teramat indah dijiwanya, perasaan inilah disebut uns. Kebahagiaan, kegembiraan, kesenangan, serta rasa sukacita yang membara karena merasakan kedekatan dengan Allah yang sangat dicintainya.
7.    Tuma’ninah
Tuma’ninah adalah suasana ketentraman hati karena terpengaruh (tervibrasi) oleh sesuatu yang lain. Menurut Ibnu Qayyim, “kebenaran adalah identik dengan ketentraman, sedangkan kebohongan adalah identik dengan keraguan dan kegelisahan.” Nabi juga bersabda “kebenaran adalah sesuatu yang menenangkan hati.”
8.    Musyahadah
Musyahadah adalah kehadiran al-Haqq dengan tanpa dibayangkan. Orang yang mengalami musyahadah, jiwanya terang benderang penuh dengan cahaya ketuhanan, seolah mampu mengubah malam yang gelap gulita, menjadi terang benderang oleh cahaya kalbunya yang terus-menerus bersinar-sinar terang.
9.    Yaqin
Yaqin mengandung tiga macam unsur, yaitu ‘ilm al-yaqin, ‘ain al-yaqin dan haqq al-yaqin. ‘Ilm al-yaqin adalah sesuatu yang dianggap ada setelah ada pembuktian. ‘Ain al-yaqin adalah sesuatu yang ada setelah dapat dijelaskan. Sedangkan haqq al-yaqin adalah sesuatu yang ada dengan sifat-sifat yang sudah sesuai dengan kenyataannya. Secara umum yaqin dapat dijelaskan sebagaai keyakinan yang kuat terhadap suatu kebenaran, berdasarkan kesaksian dari realitas seluruh aspek yang ada.[21]
IV.   KESIMPULAN
Moralitas adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat sopan santun. Sedangkan Spiritualitas adalah sesuatu yang berhubungan dengan  rohani atau kejiwaan seseorang. Ahwal diartikan sebagai keadaan-keadaan spiritual. Ini adalah anugerah dan karunia Allah kepada hati para penempuh jalan spiritual.
Untuk membentuk moralitas dan spiritualitas melalui tasawuf seseorang dapat mecapainya melalui tahap tahap dalam maqam dan ahwal dalam  tasawuf yaitu: taubat, wara’, zuhud, faqir, shabr, tawakal dan ridha. Sedangkan karakter yang termasuk ahwal adalah muqarrobah, qurb, mahabah, khauf, raja’, syauq, uns, tuma’ninah, musyahadah dan yaqin.
V.      PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat saya tulis, semoga isi makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.saya mengharapkan kritik dan saran untuk memperbaiki penulisan makalah yang selanjutnya. Mohom maaf apabila ada kesalahan dalam makalah saya, karena kesalahan itu terdapat pada manusiadan kebenaran hanyalah milik Allah SWT. semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.


















[1] Moenir Nahrowi Tohir. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf Meneliti Jalam Menuju Tuhan. (Jakarta : PT. As-Salam Sejahtera, 2012). Hlm 92.
[2] Media Zainul Bahri. Tasawuf Mendamaikan Dunia.(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010). Hlm 82.
[3] Amatullah Armstrong.Kunci Memasuki Dunia Tasawuf.(Bandung:Mizan,1996).hlm22
[4] Media Zainul Bahri. Tasawuf Mendamaikan Dunia.(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010). Hlm 84.
[5] Media Zainul Bahri MA. Tasawuf Mendamaikan Dunia, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010). Hal-87
[6] Media Zainul Bahri MA. Tasawuf Mendamaikan Dunia, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010). Hal-88
[7] A. Reza Arasteh. Revolusi Spiriitual. (Depok: Inisiasi Press,2002). Hal-96
[8] Moenir Nahrowi Tohir. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf Meneliti Jalam Menuju Tuhan. (Jakarta : PT. As-Salam Sejahtera, 2012). Hlm 93-96.
[9] ‘Abd al-Karim ibn Hazawin al-Qusyayri. Risalah Sufi al-Qursyayri. (Bandung : PUSTAKA, 1990). Hlm 2-3.
[10] Moenir Nahrowi Tohir. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf Meneliti Jalam Menuju Tuhan. (Jakarta : PT. As-Salam Sejahtera, 2012). Hlm 96-97.
[11] ‘Abd al-Karim ibn Hazawin al-Qusyayri. Risalah Sufi al-Qursyayri. (Bandung : PUSTAKA, 1990). Hlm 31-32.
[12] ‘Abd al-Karim ibn Hazawin al-Qusyayri. Risalah Sufi al-Qursyayri. (Bandung : PUSTAKA, 1990). Hlm 40-44.
[13] Moenir Nahrowi Tohir. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf Meneliti Jalam Menuju Tuhan. (Jakarta : PT. As-Salam Sejahtera, 2012). Hlm 98.
[14] ‘Abd al-Karim ibn Hazawin al-Qusyayri. Risalah Sufi al-Qursyayri. (Bandung : PUSTAKA, 1990). Hlm 286-289.
[15] Moenir Nahrowi Tohir. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf Meneliti Jalam Menuju Tuhan. (Jakarta : PT. As-Salam Sejahtera, 2012). Hlm 99.
[16] ‘Abd al-Karim ibn Hazawin al-Qusyayri. Risalah Sufi al-Qursyayri. (Bandung : PUSTAKA, 1990). Hlm 146-147.
[17] Moenir Nahrowi Tohir. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf Meneliti Jalam Menuju Tuhan. (Jakarta : PT. As-Salam Sejahtera, 2012). Hlm 100.
[18] ‘Abd al-Karim ibn Hazawin al-Qusyayri. Risalah Sufi al-Qursyayri. (Bandung : PUSTAKA, 1990). Hlm 113-115.
[19] Moenir Nahrowi Tohir. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf Meneliti Jalam Menuju Tuhan. (Jakarta : PT. As-Salam Sejahtera, 201)2. Hlm 100-101.
[20] ‘Abd al-Karim ibn Hazawin al-Qusyayri. Risalah Sufi al-Qursyayri. (Bandung : PUSTAKA, 1990). Hlm 163.
[21] Moenir Nahrowi Tohir. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf Meneliti Jalam Menuju Tuhan. (Jakarta : PT. As-Salam Sejahtera, 2012). Hlm 101-105.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar