PEMBENTUKAN
MORALITAS DAN SPIRITUALITAS
MELALUI
MAQAMAT WA AHWAL DALAM TASAWUF
Makalah
Disusun Guna
Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester
Mata kuliah : Akhlaq/Tasawuf
Dosen Pengampu : Drs. Komarudin, M.Ag
Di Susun Oleh:
Ridho Ardantia Fauzi
(131111006)
PROGRAM
STUDI BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH
DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
WALISONGO SEMARANG
2015
I. PENDAHULUAN
Dalam tradisi tasawuf,
banyak teori yang menyebut karakter-karakter keluhuran yang seharusnya dimiliki
oleh manusia. Karakter-karakter tersebut tergambar dalam konsep-konsep tasawuf
tentang maqamat (tahapan-tahapan atau stations), ahwal (state), ittihad
(unity), wahdat al-wujud (kesatuan wujud), wahdat al-syuhud (kesatuan
penyaksian), wahdat al-din (kesatuan agama) dan lain-lain.
Dalam konteks perilaku (takhalluq),
mengimplikasikan kesempurnaan, perasaan menyatu dengan Tuhan, kesetaraan, keadilan,
keindahan, keutuhan, keserasian, kesederhanaan dan sifat-sifat kebaikan
lainnya. Namun literature-literatur tidak semuanya seragam dalam merumuskan
susunan dari karakter-karakter maqamat dan ahwal.[1]
Hakikat tasawuf adalah kesadaran adanya
komunikasi antara manusia dengan Tuhan. Dalam proses yang intens itu seseorang
hambamenemukan pengalaman ruhani yang luar biasa nikmat dan indah yang tak
ditemui kebanyakan orang dalm kehidupanya. Pengalaman ruhani adalah inti dari
kata kunci dari tasawuf . perilaku keagamaan tanpa pengalaman ruhani tidak bisa
disebut sebagai tasawuf. Seorang yang beragama secara baik dan tertib (formal),
bertutur kata santun, dan berperilaku mulia, namun tidak dibarengi dengan
kehangatan dan pengalaman spiritual yang ia rasakan, sejatinya ia belum
menempuh jalan tasawuf dan ia belum layak disebut sebagai sufi.tasawuf tidak
identik dengan ritual-ritual formal dan akhlak mulia. Ia hanya identik dengan
pengalaman ruhani yang diperoleh seseorang salik (penempuh jalan
tasawuf). Namun harus diakui jika kemudian ia memiliki efek positif bagi
terwujudnya perilaku mulia dan kesalehan sosial. Dengan itu maka saya akan
menulis makalah tentang membentuk moralitas dan spiritualitas melalui maqamat
wa ahwal.[2]
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Apa yang dimaksud dengan Moralitas,
Spiritualitas dan Maqamat wa Ahwal?
B. Bagaimana membentuk Moralitas dan
Spiritualitas melalui Maqamat wa Ahwal?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Moralitas, Spiritualitas, dan
Maqamat wa Ahwal
Menurut KBBI Moralitas adalah sopan santun,
segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat sopan santun. Sedangkan
Spiritualitas adalah sesuatu yang berhubungan dengan rohani atau kejiwaan seseorang. Dalam
khazanah istilah sufi, Maqamat diartikan sebagai kedudukan-kedudukan
spiritual. Kedudukan-kedudukan ini adalah dasar dan asas yang mesti ada guna
mengaktualisasikan kesempurnaan manusia dan harus ditempuh dalam Perjalanan
Kembali kepada Allah. Maqamat adalah segenap perolehan (maqasib) melalui
usaha spiritual (mujahadah). Orang-orang sempurna telah melampaui
kedudukan-kedudukan itu hingga mencapai kedudukan paling tinggi, yakni “bukan
kedudukan” (la maqam).
Ahwal adalah bentuk jamah dari hal, seperti halnya maqam,
hal (state) digunakan kaum sufi untuk menunjukan kondisi spiritual. Kata hal
dalam perspektif tasawuf sering diartikan dengan “keadaan” . maksudnya keadaan
atau kondisi spiritual. Hal sebagai sebuah kondisi yang singgah dalam kalbu,
merupakan efek dari peningkata maqamat seseorang secara teoritis, memang bisa
dipahami bahwa kapan pun seorang hamba mendekat kepada Allah dengan cara
berbuat kebajikan, ibadah, riyadhah, dan mujahadah maka Allah
akan memanifestasikan diri-Nya dalam kalbu hamba tersebut. Ahwal
diartikan sebagai keadaan-keadaan spiritual. Ini adalah anugerah dan karunia
Allah kepada hati para penempuh jalan spiritual, yang masing-masing mengandung
banyak sekali kiasan halus, dan setiap kiasan mengandung makna-makna yang
sangat banyak. Orang yang mendengarkan konser spiritual bisa mengalami berbagai
keadaan spiritual.[3]
Maqamat adalah bentuk jamak dari Maqam, maqam secara
literal berate berdiri, stasiun, temapat, lokasi, posisi, atau tingkatan.
Secara terminologis berarti kedudukan spiritual.[4]
Maqamat kata jamak dari maqam, diartikan sebagai jalan sepiritual yang
harus dilalui para sufi dalam mencapai tujuan luhurnya, melalui proses
pensucian jiwa terhadap kecenderungan materi agar kembali kejalan Tuhan.
Definisi ini menurut terminology sufistik diartikan sebagai tempat atau
martabat seseorang hamba di hadapan Allah pada saat ini berdiri menghadap
kepadanya. Ia merupakan proses training, melatih diri dalam hidup kerohanian (riyadhah),
latihan menerangi hawa nafsu (mujahadah), dan melepaskan kegiatan dunia
untuk semata-mata berbakti kepada Allah. Hal ini senada dengan pendapat
al-Qusyairi, bahwa maqam merupakan pengalaman puncak (peak-experience)
yang terjadi pada hamba Allah berkat ketinggian martabatnya sebagai hasil dari
riyadhah yang dilakukan.
Dalam konteks maqamat, Abu Hamid
Al-ghazali (w.505 H/111M) melihat bahwa tingkatan agama (maqamat Al-din)
dibangun atas tiga pilar: pengetahuan-pengetahuan (ma’arif),
keadaan-keadaan (ahwal), dan perbuatan-perbuatan (a’mal). Menurut
al-Ghazali, Ma’arif adalah fondasi yang akan melahirkan ahwal, dan ahwal akan
memunculakan amal. Ma’arif laksana sebuah poho, ahwal menjadi
ranting-rantingnya, dan amal menjadi buah-buahnya. Semua ini dalam pandangan
al-Ghazali, mutlak berada pada para salik yang berjalan menuju Allah
SWT. Dari pandangan ini bisa dipahami mengapa doktrin tentang maqamat dan ahwal
pada hamper semua risalah kaum sufi tidak bisa dipisahkan dengan
keutamaan-keutamaan perbuatan baik (fadla’il a’mal).[5]
Ahwal kata jamak dari hal, yakin keadaan atau
karakter spiritual yang diberikan oleh Tuhan ketika seseorang melakukan
perjalanan rohani (spiritual) melalui maqam tertentu. Ketika Tuhan
memanisfestasikan dirinya ke dalam jiwa dan hati bersih manusia dengan agung
dan indah, seseorang akan mencintai manisfestasinya tersebut dan meraskan
kegembiraan yang spesifik, seperti hati merasa dekat (qurb),
perasaancinta yang suci (mahabah), rasa optimis dan yakin (raja’),
hati mersa tentram (tuma’ninah), suka cita (uns),menerima apa
adanya (qanaah) dan lain-lain. Kondisi kejiwaan ini disebut ahwal.
B.
Membentuk Moralitas dan Spiritualitas
melalui Maqamat wa Ahwal
Momen pendirian sufi, yang memegang janji dan
menyatakan suluk (jalan sufistik) untuk berkembang menuju kepribadian sufi,
ibarat sebuah pertanyaan terbaik yang menyediakan separuh dari jawabanya. Apa
yang terjadi pada permulaan aksi dari jalan yang hanya seperti gerbang menuju
sebuah kebun kedamaian dan penuh rahmat. Setelah mengemukakan resolusi kita,
sangat mudah untuk memasuki kebun itu, tetapi membaca tanda-tanda yang membuat
jalur yang baik sungguh tidaklah mudah. Barang kali disana terdapat sebuah masa
yang ambivalen dari sebuah atau setiah bagian. Yang satu mungkin mersakan
contoh kegelisahan dari perpisahan, sebagai mana kegelishan ketika datangnya
penyatuan. Seseorang barangkali tidak yakin dengan kemampuan dirimya sendiri,
atau gagal untuk menyelesaikan kesuliatan-kesuliatan yang dihadapi.
Susunan karakter maqamat menurut
al-Kalabadzi adalah taubat, zuhud, shabr, faqir, taqwa, tawakal, ridha,
mahabah, dan ma’rifah. Al-Qusyairi merumuskan maqamat dengan : taubah,
wara’, zuhud, tawakal, shabr dan ridha.
Abu Nasr al-Sarroj menyebutkan tujuh
karakter maqamat, yaitu taubat, wara’, zuhud, faqir, shabr, tawakal dan ridha.
Sedangkan karakter yang termasuk ahwal adalah muqarrobah, qurb, mahabah, khauf,
raja’, syauq, uns, tuma’ninah, musyahadah dan yaqin.
Menurut imam Ghozali seluruh pencapaian
pengalaman keagamaan (maqamat al-Din) terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu
ma’rifah, ahwal, dan a’mal (pngetahuan, keadaan dan amal).Konsepsi maqamat dan
ahwal dalam tradisi tasawuf ini sangat mirip dengan konsepsi psikologi
humanistic dari Abraham Harold maslow, yaitu konsepsi aktualisasi diri
(self-actualization) dan konsepsi pengalaman puncak (peak-experience).
Konsepsi pengalaman puncak
(peak-experience) dari konsep psikologi humanistic maslow menggambarkan kondisi
psikologi itu sebagai puncak kesadaran seseorang dalam kondisi merasakan
menyatu dengan alam. Atau kesadaran akan kesatuan antara alam mikrokosmos,
makrokosmos, dan metakosmos. Menurut maslow pengalaman itu adalah pengalaman
yang bersifat universal, dan merupakan pengalaman spiritual atau keagamaan,
yaitu ketika seseorang merasa tidak ada batas lagi antara dirinya dengan alam
sekitarnya.
Pembersihan dan penyucian jiwa sama artinya
dengan meninggalkan nafs al-amarah (jiwa yang mengajak pada keburukan) dan
menuju al-nafs al-muthma’innah ( jiwa yang tenang) dengan cara kesungguhan
dalam melakukan kebijakan-kebijakan yang utama (al-amal al-fadlilah) dan
mujahadah. Dengan cara mujahadah, jiwa akan menjadi bersih dari segala penyakit
serta berbagai kotoranya, dan dengan kesungguhan dalam melakukan al-amal
al-fadlilah jiwa akan dikembalikan ke asalnya yang bersih. Maka, sebagai hasil
dari usaha ini jiwa akan kembali kerumah atau asal-muasalnya. Pembicaraan
mengenai maqamat tak bisa lepas dari thariqah. Thariqah, ang berarti jalan (the
way). Menurut keyakinan sufi. Seseorang tidak akan mencapai pada hakikat tujuan
ibadah sebelum menempuh atau melaksanakan jalan kearah itu. Thariqah adalah
jalan,cara, metode, dan system menuju Tuhan. Orang yang melakukan ini disebut ahl
al-thariqah atau salik.[6]
a.
Struktur Maqamat
Tujuan akhir dari perjalan spiritual adalah
kemurnian tauhid (shafa al-tauhid), yaitu kesaksian seorang muslim dengan
mengucap kalimat syahadah, la illaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah).
Pengakuan ini mengandung dua komitmen. Pertama, tiada Tuhan, dan kedua, Selain
Allah. Dua komitmen inilah yang menjadi dasar struktur maqamat. Komitmen
pertama merefleksikan pengosongan diri dari segala sesuatu yang buruk
(takhalli), seperti maqam taubat, wara’, zuhd dan faqr. Kemudian komitmen kedua
berupa pengakuan, atau tahalli, seperti
maqam shabr, tawakkal dan ridha.
1. Taubat
Maqam taubat merupakan proses dan langkah
awal perjalanan spiritual sufi yang harus dilalui dengan berhasil. Dalam proses
ini, seorang sufi harus mengosongkan dan membersihkan semua perilaku, tindakan,
perbuatan dan lain-lain yang cenderung mendorong seseorang kepada sifat, sikap
rendah dan kemaksiatan. Hal itu berlaku dalam berhubungan dengan manusia,
maupun dengan tanggungjawab kedinasan.
Dengan taubat, jiwa seseorang akan kembali
pada fitrahnya lagi. Seseorang menjadi tidak mudah luntur dalam gaya godaan
rendah, tidak terhanyut dalam pesona duniawi dan bebas dari segala sesuatu yang
dapat menghalangi perjalanannya menemukan diri fitrinya. Pada umumnya dalam
mencapai taubat tergantung pada keikhlasan dari sesorang tersebut dan
kemampuanya untuk mengontrol kondisi psikologisnya. Sehingga dia tidak menurun
untuk menjadi korban lagi dari kepalsuan nilai yang paling awal dan nafsu yang
berkaitan dengan gaya hidupnya. Jadi, seseorang harus mengejar tahapan-tahapan
yang akan mendorong keadaan mentalnya dan menguatkan taubatnya.[7]
Ada tiga tahapan dalam usaha orang untuk melakukan taubat.
Pertama, taubat dikalangan awam. Merupakan taubat pada
tingkatan dasar. Dia menyesali dengan sungguh-sungguh atas perbuatan salah yang
pernah dilakukan (al-nadam), kemudian berjuang sekuat tenaga untuk tidak
mengulangi kesalahan-kesalahan tersebut, dan menjauhkan diri dari segala
tindakan maksiat dan melenyapkan semua dorongan nafsu amarah yang dapat
mengarahkan seseorang pada kemaksiatan (al-azm). Bila ia bersalah dengan orang,
ia harus meminta maaf dan bila membawah harta yang bukan haknya ia harus
mengembalikannya (al-sa’yu).
Kedua, taubat bagi orang yang telah melakukan ajaran tasawuf, yaitu
meningkatkan kadang ketaatannya pada Tuhan dengan lebih baik lagi. Bila
ketaatan itu kurang, ia akan meningkatkannya dengan lebih baik, bila sudah baik
ketaatannya pada Tuhan, ia akan meningkatkan lagi dengan ketaatan yang baik.
Ketiga, taubatnya orang arif. Bila ia merasa hubungan kedekatan batinnya
dengan Tuhan kurang penuh, maka ia akan memperbaiki hubungan itu dengan lebih
sempurna lagi, dengan motivasi agar terus-menerus memperoleh bimbingan dan
pengawasan dari Tuhan. Seseorang yang sudah dalam tingkatan yang arif ini,
adalah orang yang mencapai derajat wara’.[8]
Terdapat tiga syarat taubat yang mesti dipenuhi agar taubat itu
efektif, yaitu menyesali pelanggaran yang telah dilakukan, meninggalkan secara
langsung penyelewengan, dan dengan mantap memutuskan tidak kembali kepada
kemaksiatan yang sama.
Cara bertaubat ialah memisahkan diri dari orang-orang yang berbuat
jahat, karena mereka akan mendorongnya mengingkari tujuan dan menyebabkan
keraguan kelurusan niatnya yang teguh. Keteguhan dalam bersyahadah, yang akan
meningkatkan kerinduannya kepada taubat dan bersamaan dengan dorongan untuk
ketetapan hatinya memperkuat rasa takut dan berharapnya. Meninggalkan dosanya
dan bertetapan hati untuk tidak kembali ke dosa-dosa serupa di masa mendatang.[9]
2. Wara’
Wara’ pada dasarnya berarti mengendalikan
diri. Dalam pengertian tasawuf wara’ mempunyai beberapa pegertian. Pertama,
mengendalikan diri dalam semua perjalanan hidupnya dengan tidka melakukan
hal-hal yang tidak jelas hukumnya (syubhat), meskipun perbuatan itu bukan
perbuatan maksiat. Kedua, meninggalkan dan menjauhi segala sesuatu yang tidak
bermanfaat, baik menyangkut diri sendiri maupun orang lain.
Wara’ juga terbagi atas wara’ lahiriyah dan
batiniyah. Lahiriyah berarti meninggalkan semua yang dilarang Tuhan, dan
batiniyah hanya Tuhan yang bersemayam di hatinya.[10]
Wara’ menurut para ahli adalah sebagai beriku ;
Syaikh (Abu ‘Ali ad-Daqqaq) menyatakan “wara’ adalah meninggalkan
apapun yang meragukan.”
Ibrahim ibn Ad-ham menjelaskan “wara’ adalah meninggalkan apapun
yang meragukan, dan meninggalkan apapun yang tidak bersangkut paut dengan anda
berarti meninggalkan apapun yang berlebihan.”
Al-Syibli mengatakan “wara’ adalah sikap menjauhi segala sesuatu
selain Allah SWT.”
Abu Sulayman al-darani menyatakan “wara’ adalah titik tolak zuhud,
sebagaimana sikap puas terhadap apa yang ada adalah bagian utama dari ridha.”[11]
3. Zuhud
Secara umum pengertian zuhud merupakan
sikap para sufi bagaimana dia menyikapi kehidupan dunia ini. Mereka beranggapan
bahwa dunia merupakan sumber dari kemaksiatan yang akan menjauhkan mereka dari
Tuhan. Potensi ketertarikan manusia terhadap kemewahan dan kenikmatan dunia
sangat besar, sehingga akan menjadi penghalang bagi seseorang untuk mendekati
Tuhan.
Para sufi harus memalingkan terlebih dahulu
semua aktivitas jasmani dan rohaninya dari hal-hal yang bersifat duniawi,
sehingga segala daya upaya yag dicurahkan oleh para sufi, hanya semata-mata
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Beberapa para ahli berpendapat mengenai zuhud adalah sebagai
berikut :
Shufyan al-Tsawri menyatakan, “zuhud terhadap dunia adalah
mengurangi keinginan untuk memperoleh dunia, bukan memakan-makanan kasar atau
mengenakan jubah dari kain kasar.”
Syaikh Abu ‘Ali al-Daqqaq mengatakan, “zuhud adalah hendaknya anda
meninggalkan dunia sebagaimana ia adanya, bukan berkata,’saya akan membangun
ribath (markas sufi) atau mendirikan masjid.”
Ibn al-Jalla’ berkomentar, “zuhud adalah sikap anda memandang dunia
ini hina, karena dunia ini fana setelah itu, maka berpaling darinya akan
menjadi mudah bagi Anda.”
Ibn Khafif menyatakan, “pertanda zuhud adalah adanya sikap tenang
ketika berpisah dari harta milik.” Dia jga menyatakan, “zuhud adalah
membebaskan hati dari sebab-sebab sekunder dan membebaskan tangan dari harta
benda.”
Ahmad ibn Hanbal memberikan penjelasan, “ada tiga macam zuhud :
bersumpah menjauhi hal yang haram adalah zuhud kaum awam, bersumpah menjauhi
keberlebihan dalam hal-hal yang halal adalah zuhud kaum terpilih, dan bersumpah
menjauhi apapun yang mengalihkan sang hamba dari Allah SWT adalah zuhud kaum
gnostik.”[12]
4. Faqr
Ada macam interpretasi tentang maqam faqr
ini, mulai dari penafsiran yang biasa saja sampai kepada interpretasi yang
sangat ekstrim. Prinsipnya adalah tetang kondisi hidup miskin dari para sufi.
Ada interpretasi bahwa yang disebut kefaqiran adalah kondisi seseorang yang
tidak membutuhkan apapun selain Tuhan, dan itu ditandai dengan tidak adanya
harta benda.
Ada lagi yang menafsirkan bahwa faqr adalah
jika tidak ada lagi sesuatupun yang tersisa dari apa yang pernah dimiliki. Kemudian
masih ada pengertian faqr adalah kemiskinan spiritual, dan masih ada
interpretasi-interpretasi lainnya. Namun pada intinya pada sufi menganggap
bahwa faqr adalah sebuah sikap hidup yang tidak berlebihan atau memaksakan diri
untuk mengejar harta benda, kemudian menerima seberapapun yang diberikan oleh
Allah.[13]
Beberapa ahli berpendapat tentang kefaqiran adalah sebagai berikut
:
Yahya bin Mu’adz mengatakan, “hakikat kefakiran adalah bahwa si
hamba tidak bergantung kepada siapa pun selain Allah dan tnda kefakiran adalah
tidak adanya harta benda.”
Ibrahim al-Qashshar mengatakan, “kefakiran adalah pakaian yang
sekali telah dipakai akan mendatangkan keridhaan.”
Sahl bin ‘Abdullah menyatakan, “ada lima contoh kemuliaan jiwa
seorang fakir : seorang yang miskin yang berpura-pura bebas dari kebutuhan,
seorang yang lapar yang berpura-pura kenyang, seorang yang bersedih yang
berpura-pura bahagia, seorang yang punya musuh tapi memperlihatkan kecintaan
terhadapnya, seseorang yang berpuasa di siang hari dan bangun di malam hari
untuk shalat tanpa memperlihatkan kelemahan.”[14]
5. Shabr
Fungsi shabr penting dalam perjalanan
spiritual seseorang. Bagi para sufi, shabr dianggap sangat penting urgensinya,
sehingga mereka menempatkan shabr menjadi bagian penting dari struktrur maqam.
Shbar juga merupakan sikap ketundukan secara total kepada Allah dan merupakan
kondisi kejiwaan karena dorongan keimanan.[15]
Beberapa para ahli berpendapat mengenai sabar, yaitu :
Ibn ‘Atha’ menyatakan, “sabar adalah tetap tabah dalam malapetaka
dengan perilaku yang manis atau berlalunya jiwa dalam cobaan tanpa keluhan.”
Abu ‘Utsman berkomentar, “orang yang paling sabar adalah dia yang
terbiasa dalam kesengsaraan yang menimpa dan menjalani cobaan dengan sikap yang
sama seperti menghadapi kenikmatan.”
Abu “Abdallah bin Khafif menyatakan, “sabar ada tiga macam :
sabarnya orang yang berjuang untuk bersabar, sabarnya orang yang sabar, dan
sabarnya orang yang sangat sabar.”[16]
6. Tawakkal
Tawakkal dapat dikatakan sebagai hasil dari
sikap sabar. Sehingga bila sabar sudah mampu ditegakkan, otomatis dia juga
seorang yang tawakal. Orang yang tawakkal dapat ditandai dengan selalu
menyatunya perasaan tenang dan tentram, serta penuh kerelaan atas segala yang
diterimanya.[17]
Beberapa para ahli berpendapat tetang tawakkal, yaitu :
Ibn Atha menjelaskan, “tawakkal adalah bahwa hendaknya hasrat yang
menggebu-gebu terhadap hal-hal duniawi tidak muncul dalam dirimu meskipun
engkau sangat membutuhkannya, dan senantiasa bersikap qana’ah dengan Allah
meskipun engkau tergantung pada kebutuhan-kebutuhan duniawi itu.”
Dzun Nun al-Misri, “tawakkal kepada Allah berarti meninggalkan
strategi diri sendiri dan melucuti kekuatan dan kemampuannya, sebab si hamba
hanya mampu bertawakkal kepada Allah jika dia mengetahui bahwa Allah SWT Maha
Tahu dan Maha Melihat akan keadaannya.”
Abu Abdullah al-Qarsyi, “tawakkal berarti bersama dengan Allah SWT
dalam setiap keadaan.”[18]
7. Ridha
Dzunnun al-Mishri berpendapat bahwa ridha adalah menerima tawakkal
dengan keikhlasan hati. Tanda-tanda orang ridha adalah dia menerima hasil dari
segala sesuatu yang dia upayakan dengan ikhlas dan sabar sebelum datang
ketentuan, dan tidak merasa cemas serta resah setelah datangnya ketentuan. Jadi,
ridha adalah keadaan mental dan kejiwaan yang senantiasa berlapang dada dalam
menerima segala karunia yang diterima, maupun bala’ yang menimpa. Sikap mental
ini adalah merupakan maqam tertinggi yang dicapai oleh orang yang melakukan
latihan spiritual.[19]
Menurut Dzun
Nun al-Mishri, “ada tiga tanda kerelaan : tidak punya pilihan sebelum
diputuskannya ketetapan Allah, tidak merasakan kepahitan setelah diputuskannya
ketetapan tersebut, dan merasakan gairah cinta di tengah-tengah cobaan.”[20]
8. Mahabbah
Mahabbah berasal dari kata ahabba-yuhibbu-mahabbatan yang berarti mencintai secara mendalam. Mahabbah pada tingkatan selanjutnya
dapat diartikan suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan
terwujudnya kecintaan yang mendalam kepada Allah. Berkaitan dengan konsep mahabbah, Rabi’ah al-Adawiyah adalah
peletak dasar mahabbahini. Mahabbah dalam pandangan Rabi’ah adalah cinta abadi kepada Allah yang
melebihi cinta kepada siapa pun dan apapun. Cinta abadi yang tidak takut kepada
apa saja, bahkan neraka sekalipun. Sebagaimana dalam syair Rabi’ah yang
berbunyi:
Kujadikan Engkau teman
percakapan hatiku, Tubuh kasarku biar bercakap dengan insani, Jasadku biar
bercengkrama tulangku, Isi hatiku tetap pada-Mu jua.”
Menurut Rabi’ah al-Adawiyah,
Allah adalah salah satu yang seharusnya dicintai dan Dialah tujuan akhir dalam
pencarian cinta yang abadi. Untuk menggapai kecintaan Ilahi, maka seorang sufi
harus melatih dirinya untuk mencintai segala keindahan alam seisinya. Karena
keindahan adalah ciri dari zat yang dicintai. Bagi Rabi’ah, rasa cinta kepada
Allah menjadi salah satu motivasi dalam setiap perilakunya dan sekaligus
merupakan tujuan pengabdiannya kepada Allah. Rabi’ah al-Adawiyah mengatakan;
“Aku mencintai-Mu dengan dua dorongan cinta, cinta-rindu, karena aku
menginginkan-Nya dan cinta karena Engkau patut mendapatkannya. Cinta-rindu
menenggelamkan diriku untuk selalu mengingat dan menyebut-Mu. Cinta rindu
membuatku lupa dengan orang yang selain yang kucinta, sedangkan cinta karena
Engkau pantas dicintai adalah keterbukaan-Mu dari tirai penghalang sehingga aku
dapat melihat-Mu dengan terang benderang. Aku tak pantas mendapatkan pujian
untuk cinta pertama dan cinta kedua, tetapi segala puji untuk-Mu belaka pada
cinta pertama dan cinta kedua.
Dalam pandangan Ath-Thusi, mahabbah dibagi menjadi tingkatan. Pertama, mahabbah al-‘ammah, yaitu cinta yang timbul dari
belas kasihan dan kebaikan Allah kepada hamba-Nya. Kedua, hubb ash-shadiqin wa al-muttaqin,yaitu cinta yang timbul dari pandangan hati sanubari terhadap
kebesaran, keagungan, kemahakuasaan, ilmu dan kekayaan Allah. Ketiga, mahabbah ash-shidiqin wa al-‘arifin, yaitu mahabbah yang timbul dari penglihatan dan ma’rifatpara sufi terhadap kekalnya
kecintaan Allah yang tanpa ‘illat. Adapun tanda-tanda cinta seorang hamba terhadap Allah di antaranya
adalah:
a. Senang bertemu dengan kekasihnya (Allah) dengan cara saling
membuka rahasia dan saling melihat satu sama lain.
b. Melakukan segala hal yang disenangi kekasihnya. Atas nama cinta
kepada Allah, rela menjalankan kewajiban yang diperintahkan.
c. Senantiasa berzikir menyebut nama-Nya.
d. Merasa tenang dan damai tatkala bermunajat dengan Allah dan
membaca kitab-Nya.
e. Tidak merasa gundah jika kelihangan sesuatu selain Allah dan
merasa gundah jika waktunya terlewatkan tanpa mengingat Allah.
f. Merasa nikmat saat menjalankan perintah Allah dan tidak menganggap
perintah itu sebagai beban.
g. Menyanyangi semua hamba Allah, berperilaku tegas kepada semua
musuh Allah.
9. Ma’rifah
Ma’rifat berasal dari
kata ‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifat yang berarti pengetahuan atau pengalaman.
Ma’rifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang
lebih tinggi daripada ilmu yang didapat pada umumnya, dan merupakan pengetahuan
yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat zhahir, tetapi bersifat batin, yaitu
pengetahuan mengenai rahasia-rahasia Tuhan melalui pancaran cahaya Ilahi.
Adapun alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir, qalb, dan ruh. Qalb
yang telah suci akan dipancari cahaya Ilahi dan akan dapat mengetahui segala
rahasia Tuhan. Pada saat itulah, seorang sufi sampai pada tingkatan ma’rifat.
Dengan demikian, ma’rifat berhubungan dengan nur Ilahi dan berkaitan dengan nur
Ilahi. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa kata nur yang dihubungkan dengan
Allah. Di antaranya adalah:
Ma’rifat dalam pandangan
al-Ghazali adalah mengetahui rahasia Allah tentang segala yang ada. Al-Ghazali
dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din membedakan jalan pengetahuan sampai kepada Tuhan
antara orang awam, ulama dan sufi. Bagi orang awam, keyakinan akan pengetahuan
tentang Allah dibangun atas dasar taqlid, yaitu hanya mengikuti perkataan orang
lain tanpa menyelidikinya.
Bagi ulama, keyakinan akan
Allah dibangun atas dasar pembuktian. Bagi sufi, keyakinan akan Allah dibangun
atas dasar dzauq rohani dan kasyaf Ilahi. Ma’rifat dalam pandangan Dzun Nun
al-Misri adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Menurutnya, ma’rifat hanya
terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Allah dengan hati sanubari mereka.
Ma’rifat dipancarkan ke hati para sufi dengan pancaran cahaya suci Ilahi.
Ma’rifat menurut Syeikh Ibnu Athaillah
As-Sakandari, siapapun yang merenung secara mendalam akan
menyadari bahwa semua makhluk sebenarnya menauhidkan Allah SWT lewat tarikan
nafas yang halus. Jika tidak, pasti mereka akan mendapat siksa. Pada setiap
zarah, mulai dari ukuran sub-atomis (kuantum) sampai atomis, yang terdapat di
alam semesta terdapat rahasia nama-nama Allah. Dengan rahasia tersebut,
semuanya memahami dan mengakui keesaan Allah. Allah SWT telah berfirman, yang
Artinya:
Artinya: Hanya kepada Allah-lah
sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan
sendiri atau pun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan
petang hari (QS Ar-Ra’d:15).
Jadi, semua makhluk
mentauhidkan Allah dalam semua kedudukan sesuai dengan rububiyah Tuhan serta
sesuai dengan bentuk-bentuk ubudiyah yang telah ditentukan dalam
mengaktualisasikan tauhid mereka. Lebih lanjut Syeikh mengatakan bahwa sebagian
ahli makrifat berpendapat bahwa orang yang bertasbih sebenarnya bertasbih
dengan rahasia kedalaman hakikat kesucian pikirannya dalam wilayah keajaiban
alam malakut dan kelembutan alam jabarut.
Sementara sang salik,
bertasbih dengan dzikirnya dalam lautan qolbu. Sang murid bertasbih dengan
qolbunya dalam lautan pikiran. Sang Pecinta bertasbih dengan ruhnya dalam
lautan kerinduan. Sang Arif bertasbih dengan sirr-nya dalam lautan alam gaib.
Dan orang shiddiq bertasbih dengan kedalaman sirr-nya dalam rahasia cahaya yang
suci yang beredar di antara berbagai makna Asmaasma dan Sifat-sifat-Nya
disertai dengan keteguhan di dalam silih bergantinya waktu. Dan dia yang hamba
Allah bertasbih dalam lautan pemurnian dengan kerahasian sirr-al-Asrar dengan
memandang-Nya,
b.
Struktur Ahwal
dalam struktur ahwal ini ada
karakter-karater : muraqabah, mahabbah, khauf, raja’, syauq, uns, tuma’ninah,
musyahadah dan yaqin.
1. Muraqabah
Muraqabah artinya merasa selalu
diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia
senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Sesungguhnya manusia hakikinya
selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan
keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya. Kehati-hatian (mawas diri)
adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba
jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan,
“Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau
memaksa jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu
yang engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari”.
Muraqabah dalam tradisi sufi adalah kondisi batin dimana orang
memposisikan dirinya pada keadaan waspada dan konsentrasi penuh, sehingga
segala pikiran dan perasaannya selalu terfokus pada kesadaran diri yang mantab.
Muraqabah adalah hal atau kondisi yang sangat penting, sebab segala
kegiatan spiritual dan segala perilaku dan perbuatan pada hakikatnya ditujukan
untuk pendekatan diri kepada Allah. Hal yang penting dalam muraqabah ialah
sikap konsisten terhadap perilaku yang baik, atau perilaku yang seharusnya
dilakukan.
2.
Mahabbah
Mahabbah atau cinta adalah suatu perasaan agung dimana orang yang
mencintai memberikan seluruh keluhuran jiwanya kepada yang dicintai. Mahabbah
mengandung makna keteguhan dan kemantapan sikap untuk konsisten kepada apa yang
dicintainya, dan selalu memikirkan yang dicintai. Dalam tradisi sufi, mahabbah
dianggap tinggi nilainya dalam pencapaian sufi, sehingga menempatkan mahabbah
sebagai bagian dari maqamat.
3.
Khauf
Al-Qusyairi mengemukakan bahwa khauf berhubungan dengan sesuatu
yang belum terjadi. Khauf atau ketakutan adalah sesuatu yang sangat tidak
diharapkan akan terjadi, dan sesuatu yang diharapkan akan sirna. Takut akan
terjadinya kemurkaan Allah, dan takut akan kehilangan cinta Allah adalah
manifestasi dari khauf.
4.
Raja’
Raja’ dapat dikatakan kebalikan dari khauf. Kalau khauf, takut
sesuatu akan terjadi, maka raja’ justru berharap sesuatu agar terjadi. Ada
perbedaan antara berharap (raja’) dengan berangan-angan (tamanni). Berharap
berarti menginginkan sesuatu agar dapat terjadi sesuai keinginan, sementara
berangan-angan berarti menginginkan sesuatu terjadi tanpa suatu usaha (hanya
menunggu).
5.
Syauq
Syauq adalah rindu. Rindu adalah kondisi suatu perasaan di mana
seseorang atau individu selalu ingin bertemu dengan yang dirindukan atau yang
dicintai. Seorang hamba yang dilanda kerinduan kepada Allah SWT, selalu ingin
terus berdekatan dengan-Nya. Kerinduan juga berarti penumpahan segala energi
yang terbaik kepada titik tertentu yang dianggapnya sebagai kebenaran yang
hakiki, sehingga tidak tergoyahkan oleh segala godaan dan kecenderungan yang
akan menjauhkannya dari kebenaran.
6.
Uns
Uns (suka cita) dalam pandangan sufi adalah sifat
merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Dalam keadaan seperti ini,
seorang sufi merasakan tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada
yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwa terpusat bulat kepada-Nya, sehingga ia
seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang
kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti itulah yang
disebut al-Uns. Ada sebuah ungkapan yang menggambarkan al-Uns sebagai berikut: “Ada orang
yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan
kekasihnya, sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan
pemudi. Ada pula orang yang bising dalam kesepian. Ia adalah orang selalu
memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau
selalu berteman di manapun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan
Allah. Artinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah.
Seorang hamba yang merasakan Uns dibedakan menjadi tiga kondisi. Pertama, seorang hamba yang
merasakan suka cita berzikir mengingat Allah dan merasa gelisah di saat lalai.
Merasa senang di saat berbuat ketaatan dan gelisah berbuat dosa. Kedua, seorang
hamba yang merasa senang dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan-bisikan hati,
pikiran dan segala sesuatu selain Allah yang akan menghalanginya untuk dekat
dengan Allah. Ketiga, yaitu kondisi yang tidak lagi melihat suka citanya karena
adanya wibawa, kedekatan, kemuliaan dan mengagungkan disertai dengan suka cita.
Ketika seseorang didekati oleh apa yang paling didambakannya, akan
merasakan suatu perasaan gembira dan senang yang teramat indah dijiwanya,
perasaan inilah disebut uns. Kebahagiaan, kegembiraan, kesenangan, serta rasa
sukacita yang membara karena merasakan kedekatan dengan Allah yang sangat
dicintainya.
7.
Tuma’ninah
Tuma’ninah adalah suasana ketentraman hati karena terpengaruh
(tervibrasi) oleh sesuatu yang lain. Menurut Ibnu Qayyim, “kebenaran adalah
identik dengan ketentraman, sedangkan kebohongan adalah identik dengan keraguan
dan kegelisahan.” Nabi juga bersabda “kebenaran adalah sesuatu yang menenangkan
hati.”
8.
Musyahadah
Musyahadah adalah kehadiran al-Haqq dengan tanpa dibayangkan. Orang
yang mengalami musyahadah, jiwanya terang benderang penuh dengan cahaya ketuhanan,
seolah mampu mengubah malam yang gelap gulita, menjadi terang benderang oleh
cahaya kalbunya yang terus-menerus bersinar-sinar terang.
9.
Yaqin
Yaqin mengandung tiga macam unsur, yaitu ‘ilm al-yaqin, ‘ain
al-yaqin dan haqq al-yaqin. ‘Ilm al-yaqin adalah sesuatu yang dianggap ada
setelah ada pembuktian. ‘Ain al-yaqin adalah sesuatu yang ada setelah dapat
dijelaskan. Sedangkan haqq al-yaqin adalah sesuatu yang ada dengan sifat-sifat
yang sudah sesuai dengan kenyataannya. Secara umum yaqin dapat dijelaskan sebagaai keyakinan
yang kuat terhadap suatu kebenaran, berdasarkan kesaksian dari realitas seluruh
aspek yang ada.[21]
IV.
KESIMPULAN
Moralitas
adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat
sopan santun. Sedangkan Spiritualitas adalah sesuatu yang berhubungan
dengan rohani atau kejiwaan seseorang. Ahwal
diartikan sebagai keadaan-keadaan spiritual. Ini adalah anugerah dan karunia
Allah kepada hati para penempuh jalan spiritual.
Untuk
membentuk moralitas dan spiritualitas melalui tasawuf seseorang dapat
mecapainya melalui tahap tahap dalam maqam dan ahwal dalam tasawuf yaitu: taubat, wara’, zuhud, faqir,
shabr, tawakal dan ridha. Sedangkan karakter yang termasuk ahwal adalah
muqarrobah, qurb, mahabah, khauf, raja’, syauq, uns, tuma’ninah, musyahadah dan
yaqin.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat saya tulis, semoga
isi makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.saya mengharapkan kritik dan
saran untuk memperbaiki penulisan makalah
yang selanjutnya. Mohom maaf apabila ada kesalahan dalam makalah saya, karena
kesalahan itu terdapat pada manusiadan kebenaran hanyalah milik Allah SWT.
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
[1] Moenir Nahrowi Tohir. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf Meneliti
Jalam Menuju Tuhan. (Jakarta : PT. As-Salam Sejahtera, 2012). Hlm 92.
[2] Media Zainul Bahri. Tasawuf
Mendamaikan Dunia.(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010). Hlm 82.
[4] Media Zainul Bahri. Tasawuf
Mendamaikan Dunia.(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010). Hlm 84.
[5] Media Zainul Bahri MA.
Tasawuf Mendamaikan Dunia, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010). Hal-87
[6] Media Zainul Bahri MA.
Tasawuf Mendamaikan Dunia, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010). Hal-88
[7] A. Reza Arasteh. Revolusi
Spiriitual. (Depok: Inisiasi Press,2002). Hal-96
[8] Moenir Nahrowi
Tohir. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf Meneliti Jalam Menuju Tuhan. (Jakarta
: PT. As-Salam Sejahtera, 2012). Hlm 93-96.
[9] ‘Abd al-Karim
ibn Hazawin al-Qusyayri. Risalah Sufi al-Qursyayri. (Bandung : PUSTAKA,
1990). Hlm 2-3.
[10] Moenir Nahrowi
Tohir. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf Meneliti Jalam Menuju Tuhan. (Jakarta
: PT. As-Salam Sejahtera, 2012). Hlm 96-97.
[11] ‘Abd al-Karim
ibn Hazawin al-Qusyayri. Risalah Sufi al-Qursyayri. (Bandung : PUSTAKA,
1990). Hlm 31-32.
[12] ‘Abd al-Karim ibn Hazawin al-Qusyayri. Risalah Sufi al-Qursyayri.
(Bandung : PUSTAKA, 1990). Hlm 40-44.
[13] Moenir Nahrowi Tohir. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf Meneliti
Jalam Menuju Tuhan. (Jakarta : PT. As-Salam Sejahtera, 2012). Hlm 98.
[14] ‘Abd al-Karim ibn Hazawin al-Qusyayri. Risalah Sufi al-Qursyayri.
(Bandung : PUSTAKA, 1990). Hlm 286-289.
[15] Moenir Nahrowi Tohir. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf Meneliti
Jalam Menuju Tuhan. (Jakarta : PT. As-Salam Sejahtera, 2012). Hlm 99.
[16] ‘Abd al-Karim ibn Hazawin al-Qusyayri. Risalah Sufi al-Qursyayri.
(Bandung : PUSTAKA, 1990). Hlm 146-147.
[17] Moenir Nahrowi Tohir. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf Meneliti
Jalam Menuju Tuhan. (Jakarta : PT. As-Salam Sejahtera, 2012). Hlm 100.
[18] ‘Abd al-Karim ibn Hazawin al-Qusyayri. Risalah Sufi al-Qursyayri.
(Bandung : PUSTAKA, 1990). Hlm 113-115.
[19] Moenir Nahrowi Tohir. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf Meneliti
Jalam Menuju Tuhan. (Jakarta : PT. As-Salam Sejahtera, 201)2. Hlm 100-101.
[20] ‘Abd al-Karim ibn Hazawin al-Qusyayri. Risalah Sufi al-Qursyayri.
(Bandung : PUSTAKA, 1990). Hlm 163.
[21] Moenir Nahrowi Tohir. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf Meneliti
Jalam Menuju Tuhan. (Jakarta : PT. As-Salam Sejahtera, 2012). Hlm 101-105.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar